"Di dalam peraturan Undang-undang tidak ada satu pasalpun yang menyebutkan pendanaan untuk swasta. Semestinya pemerintah tidak membedakan, minimal ada sekian persen untuk swasta, misalnya 60 persen untuk negeri dan 40 persen swasta. Dengan begitu biaya pendidikan bisa semakin murah," kata Sali.
Selama ini, kata Sali anggaran untuk swasta terutama perguruan tinggi hanya dialokasikan dalam bentuk hibah, di mana perguruan tinggi swasta (PTS) harus berkompetisi untuk mendapatkannya bahkan berkompetisi dengan perguruan tinggi negeri (PTN). Akibatnya hanya perguruan tinggi mapan yang berhasil mendapatkannya setiap tahun. "Jadi yang dapat itu-itu saja. Yang lain tidak pernah kebagian karena tidak mampu berkompetisi. Seharusnya bantuan diberikan bergilir sehingga semua kebagian," katanya.
Sebetulnya, kata Sali banyak permasalahan yang dialami oleh swasta. Mulai dari pro kontra perpajakan bagi PTS, beratnya akreditasi bagi PTS, serta harmonisasi UU guru dan dosen dengan UU tenaga kerja. Oleh karena itu, kata Sali, ABPTSI bersama Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) telah menggelar seminar pada Kamis (20/1) lalu membahas seluruh permasalahan tersebut. "Kami akan ajukan gugatan ke MK untuk menggugat UU Yayasan terutama pasal 5, kemudian akan ke MA menggugat PP yang tidak mengakomodir pendanaan swasta," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Aptisi Jawa Barat Banten Prof. Didi Turmudzi menuturkan, permasalahan yang cukup berat adalah mengenai akreditasi. Semenjak standar akreditasi mengalami perubahan, hampir semua perguruan tinggi baik negeri atau swasta mengalami penurunan angka akreditasi. "Ini terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, baik negeri atau swasta nilainya turun," katanya.
Bagi PTN, kata Didi penurunan akreditasi tidak menjadi masalah karena masyarakat dan dunia kerja tidak pernah melihat akreditasi pada PTN. Sementara bagi PTS, akreditasi sangat berpengaruh apalagi dunia kerja mensyaratkan akreditasi bagi para calon pegawai yang berasal dari PTS. "Bahkan di wilayah lain banyak yang tidak sanggup untuk akreditasi. Akibatnya, lulusan tidak dapat bekerja," ujarnya.
Kondisi seperti ini, kata Didi tidak menjadi masalah kalau pemerintah juga mengimbanginya dengan intervensi finansial. Artinya PTS juga dibantu untuk meningkatkan kualitas agar mampu mengejar standarisasi yang ditetapkan. "Di sisi lain PTN diperlakukan lain, standar sama ketatnya dengan kami namun finansialnya hanya PTN yang dapat," ungkapnya.
Aptisi, kata Didi, sudah menyampaikan masalah ini kepada Kementrian Pendidikan Nasional. Dia mengusulkan agar dilakukan penyempurnaan dalam menetapkan standarisasi akreditasi ini. Bahkan Aptisi menginginkan ada wakil dari PTS didalam Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. "Selama ini BAN PT hanya terdiri dari PTN, kami usulkan agar ada PTS di situ, sehingga dia paham bagaimana kondisi PTS pada umumnya di Indonesia," tuturnya. (A-157/A-147)***
Selama ini, kata Sali anggaran untuk swasta terutama perguruan tinggi hanya dialokasikan dalam bentuk hibah, di mana perguruan tinggi swasta (PTS) harus berkompetisi untuk mendapatkannya bahkan berkompetisi dengan perguruan tinggi negeri (PTN). Akibatnya hanya perguruan tinggi mapan yang berhasil mendapatkannya setiap tahun. "Jadi yang dapat itu-itu saja. Yang lain tidak pernah kebagian karena tidak mampu berkompetisi. Seharusnya bantuan diberikan bergilir sehingga semua kebagian," katanya.
Sebetulnya, kata Sali banyak permasalahan yang dialami oleh swasta. Mulai dari pro kontra perpajakan bagi PTS, beratnya akreditasi bagi PTS, serta harmonisasi UU guru dan dosen dengan UU tenaga kerja. Oleh karena itu, kata Sali, ABPTSI bersama Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) telah menggelar seminar pada Kamis (20/1) lalu membahas seluruh permasalahan tersebut. "Kami akan ajukan gugatan ke MK untuk menggugat UU Yayasan terutama pasal 5, kemudian akan ke MA menggugat PP yang tidak mengakomodir pendanaan swasta," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Aptisi Jawa Barat Banten Prof. Didi Turmudzi menuturkan, permasalahan yang cukup berat adalah mengenai akreditasi. Semenjak standar akreditasi mengalami perubahan, hampir semua perguruan tinggi baik negeri atau swasta mengalami penurunan angka akreditasi. "Ini terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, baik negeri atau swasta nilainya turun," katanya.
Bagi PTN, kata Didi penurunan akreditasi tidak menjadi masalah karena masyarakat dan dunia kerja tidak pernah melihat akreditasi pada PTN. Sementara bagi PTS, akreditasi sangat berpengaruh apalagi dunia kerja mensyaratkan akreditasi bagi para calon pegawai yang berasal dari PTS. "Bahkan di wilayah lain banyak yang tidak sanggup untuk akreditasi. Akibatnya, lulusan tidak dapat bekerja," ujarnya.
Kondisi seperti ini, kata Didi tidak menjadi masalah kalau pemerintah juga mengimbanginya dengan intervensi finansial. Artinya PTS juga dibantu untuk meningkatkan kualitas agar mampu mengejar standarisasi yang ditetapkan. "Di sisi lain PTN diperlakukan lain, standar sama ketatnya dengan kami namun finansialnya hanya PTN yang dapat," ungkapnya.
Aptisi, kata Didi, sudah menyampaikan masalah ini kepada Kementrian Pendidikan Nasional. Dia mengusulkan agar dilakukan penyempurnaan dalam menetapkan standarisasi akreditasi ini. Bahkan Aptisi menginginkan ada wakil dari PTS didalam Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. "Selama ini BAN PT hanya terdiri dari PTN, kami usulkan agar ada PTS di situ, sehingga dia paham bagaimana kondisi PTS pada umumnya di Indonesia," tuturnya. (A-157/A-147)***