Kita tidak menyangkal bahwa salah satu indikator keseriusan kita menangani pendidikan adalah penyediaan anggaran yang memadai untuk itu. Hanya saja pengalokasian anggaran yang tidak diikuti dengan arah kebijakan pendidikan yang jelas, maka akibatnya penghambur-hamburan anggaran yang tidak perlu.
Itulah yang kita rasakan sekarang ini. Anggaran pendidikan yang mencapai Rp 240 triliun setiap tahun tidak tahu bagaimana memanfaatkannya. Akibatnya, anggarannya habis dipergunakan, namun kualitas pendidikan kita tidak pernah beranjak naik.
Paling sederhana melihat kekacauan pendidikan kita adalah bagaimana program belajar sembilan tahun dijalankan. Seluruh anak-anak sebenarnya diwajibkan untuk mengikuti program belajar sembilan tahun. Namun kita lihat bagaimana banyak anak yang mengalami putus sekolah.
Mengapa? Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, program belajar sembilan tahun sebenarnya bebas dari pungutan. Namun kenyataannya, mereka tetap saja dikenakan bayaran dan bagi keluarga yang tidak mampu, pungutan itu sangat memberatkan.
Kedua, agar program sembilan tahun berjalan tanpa terputus, anak-anak didik seharusnya dibuat belajar dengan penuh kegembiraan. Mereka seharusnya terus saja diminta untuk mengikuti pendidikan sampai program sembilan tahun selesai.
Bahwa untuk mengukur kemajuan pendidikan anak didik harus ada parameternya, kita setuju. Namun parameter itu bukan dipakai untuk mematikan semangat belajar, tetapi seharusnya menjadi masukan bagi para guru untuk bisa membuat anak didik lebih bergairah menuntut ilmu.
Karena pemahaman yang tidak utuh, kita justru menggunakan parameter pendidikan untuk menentukan keberhasilan anak didik. Ujian Nasional tingkat Sekolah Dasar digunakan sebagai indikator keberhasilan pendidikan kita dan juga dijadikan perbandingan kemajuan dengan anak-anak di seluruh dunia.
Padahal ketika seorang anak dinyatakan tidak lulus ujian nasional sekolah dasar dan kemudian diminta untuk mengulang satu tahun, maka banyak di antara mereka yang memilih untuk putus sekolah. Banyak orangtua yang menganggap mengulang pelajaran sebagai penghamburan uang dan itulah salah satu penyebab program pendidikan sembilan tahun tidak berjalan baik.
Di negara lain, ujian nasional baru dilakukan di akhir program sembilan atau sepuluh tahun. Sebab, itu merupakan indikator yang akan dipakai untuk menentukan apakah seorang anak lebih baik mengikuti jalur sekolah menengah umum untuk kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi ataukah lebih baik mengikuti sekolah menengah kejuruan.
Alasan ketiga, materi pendidikan yang diberikan kepada anak didik bukanlah materi pendidikan yang mencerahkan. Materi pendidikan yang disediakan terlalu syarat dengan berbagai muatan politik yang akhirnya hanya membebani anak didik.
Salah satu yang sekarang sedang ramai dibicarakan adalah buku-buku sekolah yang berbicara tentang pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Buku-buku yang menceritakan tentang bagaimana Presiden yang suka mengarang lagu sampai beratnya Presiden membantu memperbaiki kehidupan petani.
Bukan tidak boleh buku-buku itu dibuat. Namun kalau ingin membuka wawasan anak-anak didik tentang para pemimpin kita, seharusnya Presiden SBY ditempatkan bersama lima presiden kita sebelumnya.
Kita tidak tahu pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan pihak Kementerian Pendidikan Nasional dengan programnya pembuatan buku itu. Anehnya ketika banyak pihak mempertanyakan dasar pembuatan buku tersebut, pihak Kemendiknas bukan tampil untuk menjelaskan, tetapi justru melemparkan badan.
Mereka berpendapat bahwa itu merupakan inisiatif Dinas Pendidikan di daerah. Semua dana alokasi khusus sudah diserahkan ke daerah dan setiap daerah bebas untuk mempergunakannya. Anehnya, pihak Dinas Pendidikan Daerah tidak mau begitu saja disalahkan. Mereka berpendapat bahwa yang mereka terima bukanlah dana alokasi khusus dalam bentuk uang, tetapi sudah menjadi buku yang kini dibagikan kepada anak didik.
Kisruh tentang buku Presiden SBY yang beredar di sekolah-sekolah sekarang ini menunjukkan betapa anggaran pendidikan dipergunakan secara sembarangan. Tidak salah ketika tahun 2004, Presiden SBY memprihatinkan tentang Kementerian Pendidikan Nasional yang dianggap sebagai kementerian yang boros dan banyak bocornya.
Namun yang pantas lebih kita prihatinkan bukanlah anggaran yang dihambur-hamburkan, tetapi kementerian yang tidak memiliki visi pendidikan. Kita tidak tahu akan dibentuk menjadi manusia seperti apa anak-anak didik kita, kalau para pengambil kebijakan pendidikan tipe orang-orang penjilat dan suka mencari muka.
Padahal pendidikan bukanlah sesuatu yang bisa segera dirasakan hasilnya. Kesalahan pendidikan yang dilakukan sekarang, kita akan menuai akibatnya 10 atau 15 tahun yang akan datang. Oleh karena itu kementerian ini seharusnya diserahkan kepada orang-orang yang memiliki visi kebangsaan jangka panjang, bukan sekadar politisi yang berorientasi jangka pendek.
Sulit kita berharap akan mendapatkan generasi yang memiliki wawasan yang luas dan kecintaan yang dalam kepada bangsa dan negara ini apabila pendidikan yang diberikan lebih banyak dilihat sebagai kepentingan politik belaka. Padahal kita sangat mengharapkan hadirnya generasi yang memiliki karakter, karena dengan itulah mereka akan bisa membawa bangsa dan negara ini berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain.