Ini berawal dari Menteri Pendidikan Marja van Bijsterveld yang memutuskan Sekolah Menengah Islam Amsterdam (ICA) harus ditutup. Menurut dia, jumlah murid sekolah itu sangat sedikit. Dan menurut inspeksi, mutu pendidikan jauh di bawah standar.
Umumnya, dalam kasus seperti itu para siswa akan dialihkan ke sekolah lain. Namun banyak siswa muslim di ICA ini yang sangat konservatif dan tidak merasa diterima dengan tangan terbuka di sekolah-sekolah lain di Amsterdam.
Kebanyakan siswa perempuan di ICA, misalnya, mengenakan jilbab. Sekolah mereka adalah satu-satunya sekolah menengah islam di Amsterdam.
Satu orangtua siswa mengatakan: "Saya lebih suka apabila anak-anak saya bisa masuk sekolah umum. Namun itu tidak mungkin karena tidak ada sekolah yang mau menerima anak-anak saya apa adanya. Sekolah-sekolah menengah umum lainnya mempermasalahkan banyak hal. Misalnya, ada sekolah yang hendak membatasi cara berbusana siswa. Ada sekolah yang memaksa siswa-siswanya ikut ekskursi ke luar negeri."
Orangtua dan para siswa ingin agar mereka tetap belajar dalam lingkungan islami. Tahun depan, mereka berniat mengikuti pendidikan di rumah saja. Hukum Belanda memungkinkan hal ini apabila di lingkungan sekitar tidak ada sekolah yang cocok dengan ideologi mereka.
Untuk itu, orangtua tidak perlu meminta izin, mereka hanya saja diminta untuk "lapor" ke pemerintah. Orangtua dan para siswa ingin menangani hal ini secara profesional. Prakteknya, mereka berharap keseratus siswa tersebut bisa menggunakan balai desa dan mendatangkan guru-guru kompeten untuk mengajar mereka menghadapi ujian nasional.
Anggota parlemen dari Partai Demokrat D66 Boris van der Ham tidaklah setuju. Menurutnya, para orangtua itu pada dasarnya memanfaatkan celah hukum. Mereka dinilai mendirikan sekolah baru, tanpa harus memenuhi persyaratan yang berlaku.
Anggota dewan kota Amsterdam dari Partai Buruh PvdA yang mengawasi bidang pendidikan, Lodewijk Asscher, juga menyebutnya gagasan buruk. Menurut Asscher, pendidikan berkualitas merupakan "pintu ke masyarakat."
"Ini menyangkut nasib seratus murid, seratus anak muda, yang nantinya akan berperan di kota ini, negara ini. Mereka berhak mendapat ijazah dan pendidikan berkualitas tinggi, bersosialisasi dengan orang lain, serta punya akses ke masyarakat. Apabila mereka harus tinggal di rumah dan pendidikan dilakukan oleh orangtua saja, ini berarti melanggar hak-hak mereka."
Semakin banyak anak muda muslim yang berpendapat bahwa agama dan pendidikan tidak bisa dipisahkan. Seorang murid ICA mengatakan pada Asscher: "Apabila Anda benar-benar menghormati kami, Anda akan menghormati kepentingan kami. Anda sendiri barusan mengatakan: 'Saya memutuskan pilihan sendiri,' lalu kenapa kami tak boleh memutuskan pilihan sendiri?"
Menurut anggota legislatif Asscher, pendidikan yang baik lebih penting dari agama. Jika perlu, ia akan memperkarakan hal ini sampai ke pengadilan.
Umumnya, dalam kasus seperti itu para siswa akan dialihkan ke sekolah lain. Namun banyak siswa muslim di ICA ini yang sangat konservatif dan tidak merasa diterima dengan tangan terbuka di sekolah-sekolah lain di Amsterdam.
Kebanyakan siswa perempuan di ICA, misalnya, mengenakan jilbab. Sekolah mereka adalah satu-satunya sekolah menengah islam di Amsterdam.
Satu orangtua siswa mengatakan: "Saya lebih suka apabila anak-anak saya bisa masuk sekolah umum. Namun itu tidak mungkin karena tidak ada sekolah yang mau menerima anak-anak saya apa adanya. Sekolah-sekolah menengah umum lainnya mempermasalahkan banyak hal. Misalnya, ada sekolah yang hendak membatasi cara berbusana siswa. Ada sekolah yang memaksa siswa-siswanya ikut ekskursi ke luar negeri."
Orangtua dan para siswa ingin agar mereka tetap belajar dalam lingkungan islami. Tahun depan, mereka berniat mengikuti pendidikan di rumah saja. Hukum Belanda memungkinkan hal ini apabila di lingkungan sekitar tidak ada sekolah yang cocok dengan ideologi mereka.
Untuk itu, orangtua tidak perlu meminta izin, mereka hanya saja diminta untuk "lapor" ke pemerintah. Orangtua dan para siswa ingin menangani hal ini secara profesional. Prakteknya, mereka berharap keseratus siswa tersebut bisa menggunakan balai desa dan mendatangkan guru-guru kompeten untuk mengajar mereka menghadapi ujian nasional.
Anggota parlemen dari Partai Demokrat D66 Boris van der Ham tidaklah setuju. Menurutnya, para orangtua itu pada dasarnya memanfaatkan celah hukum. Mereka dinilai mendirikan sekolah baru, tanpa harus memenuhi persyaratan yang berlaku.
Anggota dewan kota Amsterdam dari Partai Buruh PvdA yang mengawasi bidang pendidikan, Lodewijk Asscher, juga menyebutnya gagasan buruk. Menurut Asscher, pendidikan berkualitas merupakan "pintu ke masyarakat."
"Ini menyangkut nasib seratus murid, seratus anak muda, yang nantinya akan berperan di kota ini, negara ini. Mereka berhak mendapat ijazah dan pendidikan berkualitas tinggi, bersosialisasi dengan orang lain, serta punya akses ke masyarakat. Apabila mereka harus tinggal di rumah dan pendidikan dilakukan oleh orangtua saja, ini berarti melanggar hak-hak mereka."
Semakin banyak anak muda muslim yang berpendapat bahwa agama dan pendidikan tidak bisa dipisahkan. Seorang murid ICA mengatakan pada Asscher: "Apabila Anda benar-benar menghormati kami, Anda akan menghormati kepentingan kami. Anda sendiri barusan mengatakan: 'Saya memutuskan pilihan sendiri,' lalu kenapa kami tak boleh memutuskan pilihan sendiri?"
Menurut anggota legislatif Asscher, pendidikan yang baik lebih penting dari agama. Jika perlu, ia akan memperkarakan hal ini sampai ke pengadilan.