"Pemerintah sudah menganggarkan 20 persen APBN untuk pendidikan, namun ternyata masih ada tarikan-tarikan yang dimaksudkan menunjang tapi akhirnya membebani," katanya di Surabaya, Minggu.
Ketika ditemui pers di kediamannya, mantan Rektor ITS Surabaya itu menyatakan, pihaknya akan mengkaji tarikan penyebab mahalnya biaya pendidikan itu dan berupaya untuk menurunkannya.
"Misalnya, lembar kerja siswa (LKS) yang bisa berharga Rp6.000,00 per mata pelajaran, tapi kalau untuk sembilan mata pelajaran `kan bisa menjadi Rp54 ribu, padahal `katanya` sudah tidak ada biaya lagi setelah pendaftaran," katanya.
Oleh karena itu, katanya, dirinya terpaksa membeli LKS untuk siswa SD, SMP, dan SMA guna dipelajari, ternyata LKS itu sebenarnya mirip buku sekolah elektronik (BSE).
"Saya minta Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah untuk mensinergikan LKS dengan BSE guna mengurangi biaya. Dia mengatakan LKS lebih mendalam daripada BSE, tapi masalahnya bukan hanya itu, melainkan LKS itu ternyata bisnis sejumlah penerbit ke sekolah-sekolah dan masyarakat yang akhirnya terbebani," katanya.
Terkait biaya pendidikan itu, Mendiknas juga mengaku ada dugaan RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional) menjadi agak mahal, karena ada kaitannya dengan lembaga internasional "Cambridge."
"Ada dugaan biaya RSBI itu mahal karena adanya pengeluaran mahal dan hal itu ada kaitannya dengan kerja sama dengan lembaga internasional `Cambridge` dari Inggris," katanya.
Oleh karena itu, katanya, pihaknya akan melobi pengelola "Cambridge" untuk melakukan negosiasi harga seperti halnya terjadi dalam kerja sama dengan perusahaan yang memproduksi "software" (peranti lunak).
"Ibaratnya, mungkin kita bisa beli lisensi mereka, bahkan lisensi itu mungkin dengan harga yang berbeda antara lisensi untuk perorangan dengan lisensi untuk dunia pendidikan. Software itu seperti itu," katanya.
Bahkan, katanya, tidak menutup kemungkinan ada "lisensi" yang bebas biaya bila untuk pendidikan seperti halnya dengan "open source" (OS). "Jadi, kita akan lobi agar `cost` RSBI dapat diturunkan," katanya.
Hal yang sama juga terjadi di dunia pendidikan tinggi. "Karena itu, kami akan melakukan evaluasi BHMN pascaputusan tentang pembatalan UU BHP oleh MK, tapi tunggu dulu, sebab evaluasi akan disampaikan dalam rapat bersama Presiden," katanya.
Selain itu, Mendiknas juga mengingatkan lembaga pendidikan untuk tidak mudah melakukan tarikan-tarikan kepada siswa atau mahasiswa tanpa melihat "peta" kondisi orang tua mereka.
"Kalau mau mengenakan tarikan itu harus hati-hati dan jangan sampai menjadikan keputusan bersama sebagai alasan, tapi lihat dulu `peta` orang tua siswa atau mahasiswa yang memiliki spektrum kemampuan yang berbeda-beda," katanya.(*)